PEMBAHASAN
A.
Biografi Abu
Ubaid
Nama
lengkap Abu Ubaid adalah al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi
al-Azadi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada 150 H
di Harrah, Khurasan, di propinsi Khurasan yakni Barat Laut Afghanistan dari ayah
keturunan Byzantium dari suku Azad.
Beliau belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada
usia 20 an pergi berkelana ke Kufah. Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata
bahasa Arab, qira'ah, tafsir, hadis dan fikih dimana tidak dalam satu bidang
pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran. Setelah kembali
ke Khurasan, la mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H,
Thabit ibn Nasr ibn Malik yakni gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk
propinsi Thughur, menunjuknya sebagai
qadi atau hakim di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama
10 tahun, pada tahun 219 H,setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya
Beliau meninggal pada tahun 224 H[1].
Karya Abu Ubaid yang fenomenal adalah Kitab Al Amwal, yang dianggap lebih
kaya dibanding Kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf, Kitab al-Amwal fokus pada
masalah Keuangan Publik (Public Finance) meskipun mayoritas membahas
permasalahan administrasi pemerintahan. Pada masa Abu Ubaid pertanian adalah
sektor terbaik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar dan sumber utama
pendapatan negara[2].
B. Pemikiran
Ekonomi Abu Ubaid.
1. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku al amwal Abu Ubaid dievaluasi dari sisi
filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai
prinsip utama. Baginya, tujuan dari prinsip ini akan membawa kepada
kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki
pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara, jika
kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak
pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya
Dinasti Abbasiyah. Khalifah diberikan kebebasan memilih diantara alternatif
pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan
diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan
pribadi. Sebagai contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat
diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas
harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan
tidak ditunaikan.
Abu Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan
bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh
penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan
untuk kepentingan atau kemanfaatan umum.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian[3].
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian[3].
la membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual
tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar
serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang
disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek muslim setara
dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan
beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah,
zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus
memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk
menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta
terjadinya penghindaran terhadap pajak. Namun, betapapun hasil ijtihad tersebut
terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu
ijtihad yang didasarkan pada nash.
2. Dikotomi Badui (masyarakat desa) ke masyarakat kota.
Pembahasan mengenai dikotomi badui ke masyarakat kota
dilakukan Abu Ubaid, menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum
urban atau perkotaan. Demikianlah adalah apa –apa yang dilakukan oleh kaum urban:
Ø Ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administrasi
dari semua muslim.
Ø memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan
harta mereka.
Ø menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran
al-Qur’an dan sunnah dengan penyebaran) keunggulan kualitas isinya.
Ø melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan
penerimaan hudud (prescribed finalties).
Ø memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu
Jum'at dan Id.
Singkatnya disamping keadilan Abu Ubaid mengembangkan
suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum
dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban,
kaum Badui biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban
kaum urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara,
mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan. Namun hanya pada saat
terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan rnusuh,
kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abu Ubaid memperluas pada masyarakat pegunungan dan
pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama
dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari
pendapatan tersebut, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai
penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu
Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan
tunjangan[4].
Dari semua ini Abu Ubaid membedakan antara kehidupan
para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim
atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan
hubunngan sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal
sebagai unsur yang mendasar dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi.
Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam
membuat kebudayaan perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan
berpindah-pindah. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu
Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
3. Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian.
Abu Ubaid rnengakui adanya kepemilikan pribadi dan
publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan
dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid.
Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan
deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah
yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai pendorong untuk
meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan
untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai
pendorong untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan
dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak,
jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan
kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk
dalam tanah pribadi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat
ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya
adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus,
kering atau rawa-rawa.
Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah
mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu
meninggalkannya begitu saja, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti
sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah
dimonopoli seperti pada tanam pribadi. Semua ini hanya dapat dimasukkan ke
dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat[5].
4. Pertimbangan Kebutuhan.
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa
besar seseorang berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat kurang setuju dengan
mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari
penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi terhadap
penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan
dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari
kelaparan dan kekurangan, Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki
200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada
kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga
tingkatan ekonomi pengelompokan yang
terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat,
kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima
zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan
pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi
prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing dan ia
secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah
menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi
kepada pengumpulnyaatau pengelola atas kebijakan
Imam.
5. Fungsi Uang.
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak
mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of
exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas
bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi
mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai
emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut
digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena
dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang
yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun
Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas
dan perak, ia secara terkandung didalamnya mengakui adanya fungsi tersebut
ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena
zakat dan jumlah zakatnya.
Abu Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk
penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam menghitung beberapa
kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang
juga merupakan ciri khusus dari Kitab al Amwal di antara buku-buku lain sejenis
ini. Dalam bab lain diceritakan usaha khalifah Abdul Malik bin Marwan dalam
melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam sirkulasi[6].
Kondisi pemerintahan Dinasti Abbasiyah telah
memberikan warna dalam pemikiran Abu Ubaid. Dalam hubungan antara penguasa
dengan rakyat Abu Ubaid lebih menempatkan pada otoritas dan kebijakan penguasa.
Ia rupanya begitu percaya dan yakin terhadap khalifah akan membuat keputusan
yang adil dan senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini sangat
wajar karena para khalifah pada masanya secara integritas dan kapabilitas dapat
menjalankan tugasnya dengan baik.
Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama.
Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan
ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang
berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara. jika kepentingan
individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada
kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abu Ubaid adalah memberikan panduan
etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public .finance) secara
adil[7].
Metode Abu Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal,
wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan
syari'ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran
hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur'an dan hadis dan tradisi
masa awal Islam itu dapat diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.
Abu Ubaid hidup pada suasana Baghdad yang menganggap
dunia atau negara sebagai tanah airnya dan heterogen dimana persoalan
masyarakat juga lebih kompleks dibandingkan wilayah lainnya. Suasana yang
kondusif dan tradisi ilmiah membuat para ulama yang hidup di wilayah itu
cenderung menggunakan Ra'yu, hal ini terlihat misalnya pada pemikiran Imam Abu
Hanifah. Berbeda dengan lmam Malik yang hidup di Wilayah Hijaz, penduduk di
wilayah ini dekat dengan pusat kekuasaan Nabi dan Khulafa Rasyidin dimana
penyebaran hadis lebih banyak dan lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Bagi
Abu Ubaid, meskipun cukup lama tinggal di Baghdad tetapi ia sangat handal dan
menguasai hadis. Karenanya dalam pemikirannya senantiasa mengikuti sunnah Nabi,
akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio, meski sangat
hati-hati. Abu Ubaid berpendapat bahwa aturan umum dari sumah dapat
dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu
(rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnnya atau dengan ayat
al-Qur'an. Sumber ketiga yang digunakan Abu Ubaid adalah ijma al-Ummah
(kesepakatan). Tampak bahwa Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi
dimana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari
al-Qur"an dan sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda
tidak boleh dianalogikan satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik
dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari
sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh sunnah itu sendiri) dan tidak
dapat dianalogikan dengan yang lain.
Abu Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu
kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur'an dan hadis.
Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-Ummah) merupakan
penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad.
Pemikiran Abu Ubaid merupakan rujukan dalam
pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para pemikir ekonomi
muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya "The Wealth of Nation"
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal ini, padahal
jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah
menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai
nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini[8].
C. Sekilas Mengenai Kitab Al-Amwal
Kitab al-Amwal dibagi dalam beberapa bagian dan bab,
dimulai dengan bab pendahuluan singkat dari kesepakatan para imam (penguasa)
dan subyek satu sama lainnya dengan referensi khusus untuk kebutuhan
pemerintahan yang adil. Abu Ubaid mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib
memusyawarahkan keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta
bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan rakyat
berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam melaksanakan kebijakan ekonomi.
Beliau juga mengatakan bahwa pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada
Allah dan jujur.
Dilanjutkan dengan bab tambahan yang berjudul jenis
penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan
dasar-dasarnya di dalam Kitab dan Sunnah. Tampak bahwa Kitab al- Amwal secara
khusus memusatkan perhatian pada keuangan publik (Public Finance), akan tetapi
dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada di dalamnya membahas
administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al Amwal menekankan beberapa isu
mengenai perpajakan dan hukum serta hukum administrasi dan hukum internasional.
Hal tersebut membuat Kitab ini menjadi sumber pengembangan yang sangat
diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua awal abad Islam.
Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut,
di dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi SAW, kesepakatan pada sahabat,
tabi'in serta at-tabit tabi’in ditampilkan bersama dengan pendapat Al- Fiqih.
Abu Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis yang telah lama mendalami ilmu
Hadis dan sistematikanya serta melakukan tela'ah mendalam terhadap mata rantai
penyampaiannya. Abu Ubaid telah melakukan verifikasi atas hadis-hadis tersebut
serta melakukan kritik terhadap mata rantainya jika dipandang perlu. Terkadang
ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasi
pribadinya. Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang
kurang jelas tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan
menuliskan atsar yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia
mengklasifikasikan atsar beserta kesimpulannya. Walaupun begitu ada beberapa
bab yang hanya terdiri dari kumpulan hadis-hadis tanpa disertai komentar atau
pembahasan apapun.
Ibrahim al Harbi (murid dari Abu Ubaid) mengatakan
bahwa salah satu titik kelemahan dari kitab al-Amwal adalah terletak pada
sedikitnya jumlah hadis yang diulas. Namun begitu, tidak adil apabila hanya
melihatnya dari sisi itu karena keunggulan Abu Ubaid adalah penguasaannya yang
sangat baik terhadap hadis sehingga ia mampu memilih hadis-hadis yang relevan, bahkan
beberapa kali Abu Ubaid menyebutkan lebih banyak hadisnya dari pada
pembahasannya.
Walaupun Abu Ubaid adalah orang yang sangat mengikuti
sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra'yu).
Dalam setiap isu ia selalu mengacu pada atsar (hadis) serta pendapat ulama
lainnya mengenai hadis yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya
dari sisi kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat
yang ada ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti.
Kadangkala ia membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya
ataupun dari salah satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak. Abu
Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya
dalam mendeduksi hukum-hukum dari nash (al-Qur'an dan Hadis), serta
menghasilkan suatu peraturan atau kaidah keuangan (financial maxims) yang
sistematik, terutama mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum.
Referensi utama Abu Ubaid, sebagaimana ulama muslim
lainnya, adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi, baginya otoritas al-Qur'an adalah di
atas al-hadits. Walaupun sebenarnya al-hadis adalah penjelasan dari al-Qur'an. Penjelasan
dari para sahabat, tabi'in dan at-ta'bi at-tabi'in dipandangnya sederajat lebih
rendah dibanding hadis. Namun, ia akan mengesampingkannya apabila dipandang
bertentangan dengan hadis, secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak
sebanding jika dihadapkan dengan tradisi Nabi. Dalam kondisi yang terdapat
hukum atau keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang atau sama, apa yang
terakhir dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW, itu yang lebih
diutamakan. Tingkat pemahaman Abu Ubaid terhadap keduanya (al-Qur'an dan Hadis)
membuatnya mampu untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al-Nasikh
wa al-Mansukh , fi al-qur'an al-aziz wumafihi min al-Qur’an was as sunan,
gharib al-Qur'an, ma 'ani al-Qur'an, gharib al-Hadits, yang merupakan
penjelasan (tafsir) dan interpretasi (ta'wil) dari al-Qur'an dan al-Hadits.
Abu Ubaid mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah
dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra'yu.
Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari
al-Qur'an. Sumber ketiga yang digunakan Abu Ubaid adalah `ijma al-Rimmah
(kesepakatan).Tampak bahwa Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi, di
mana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari
al-Qur'an dan sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda
tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi
kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga
setiap hukum dari sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh sunnah itu
sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.
Abu Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu
kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur'an dan hadis,
walaupun begitu ia memberikan tempat bagi mayashid asy-syari'ah dalam melakukan
ketetapan hukum-hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (Ul-muslahah
al-'ammah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad.Ia
juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak
terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja.
Preferensi Abu Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah
lama membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta 'amul (hukum adat atau
tradisi).demikianlah sekilas tentang buku karangan Abu Ubaid yakni kitab
Al-Amwal[9].
DAFTAR PUSTAKA
Anto,
Hendrie. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia, 2003.
Karim,
Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Mudzar, Atho. Pendekatan
Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam. Artikel pada Mimbar Hukum.
Jakarta: Departemen Agama, 1992.
http://sharianomics.wordpress.com/2011/03/09/kultwit-pemikir-ekonomi-islam-abu-ubaid-150-224-h-2/.
http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/11/abu-ubaid-dabn-pemikiran-ekonominya.html.
[1] HM. Atho Mudzar, Pendekatan Sejarah Sosial dalam
Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar Hukum, (Jakarta: Departemen
Agama, 1992).
[2] http://sharianomics.wordpress.com/2011/03/09/kultwit-pemikir-ekonomi-islam-abu-ubaid-150-224-h-2/
[3]
H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) 251-252.
[4]
H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. 253-254.
[5]
H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. 255-256.
[6]
http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/11/abu-ubaid-dabn-pemikiran-ekonominya.html
[7]
H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. 258-259.
[8]
http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/11/abu-ubaid-dabn-pemikiran-ekonominya.html
[9]
M.B Hendrie Anto, Pengantar
Ekonomika Mikro Islami (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar