Rabu, 09 Mei 2012

bermu'amalah \-franchising


BAB I
PENDAHULUANA.

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam dunia bisnis kita ketahui banyak cara untuk membuat sebuah perusahaan yang bisa menghasilkan laba dari kegiatan usaha bisnis tersebut. Hal itu sangat penting bagi para pebisnis yang ingin memulai usahanya, baik usaha memproduksi barang ataupun jasa.Minimalnya ada 3 cara untuk membuat atau memiliki sebuah perusahaan, yaitu membeli perusahaan yang sudah dibangun, memulai perusahaan baru, dan membeli hal lisensi(franchising/waralaba).
Dari ketiga cara tersebut kami mengambil 1 untuk bahan pembahasanmasalah ini yaitu tentang membangun perusahaan dengan membeli hak lisensi(franchising/waralaba) perusahaan yang sudah berdiri atau go public.Membeli hak lisensi (franchising/waralaba) perusahaan yg sudah go public, kita tidak  perlu melakukan semacam promosi barang atau jasa yang dijual oleh perusahaan tersebut. Kita hanya melakukan kegiatan penjualan yang sudah dikonsepkan oleh perusahaan dan tidak diperkenankan merubah bentuk dari produk tersebut kecuali berinovasi menciptakan produk untuk perusahaan yang kita beli lisensinya. Cara ini sangat mudah untuk mendapatkannya serta menjalankan usaha yang kita jalani.
Franchising juga sangat mendukung perekonomian bangsa karena membantu mensejahterakan para pengusaha-pengusaha baru untuk membangun sebuah perusahaan yangsudah ada dan menjadikan para calon pekerja mendapatkan lapangan pekerjaan, hingga dapatmengurangi angka pengangguran yang semakin meningkat. Hal tersebut bisa membuat pertumbuhan ekonimi Indonesia menjadi semakin baik dan maju, juga untuk bersaingmenghadapi perekonomian bebas dimasa yang akan mendatang.Franchise juga memiliki keuntungan dan kerugian yang kita juga dapat ketahui agar  bisa mengatasi masalah-masalah yang akan kita hadapi saat menjalankan usaha tersebut.
Menggunakan fungsi-fungsi manajemen yang baik dan teratur sehingga masalah-masalahyang kita hadapi bisa dapat diselesaikan dengan baik dan berjalan sesuai rencana.Bertitik tolak dari uraian di atas penulis akan mencoba sejauh mungkin dapatmenganalisis dan mengungkapkan tentang ”PENGARUH FRANCHISING ATAUWARALABA DITINJAU DARI PRESPEKTIF HUKUM ISLAM”


B.     PERUMUSAN MASALAH
Dari masalah-masalah tersebut kita tidak dapat menjelaskan semuanya, karenaketerbatasan waktu penulis hanya membatasi masalah-masalah penting yang akan kita bahasdan agar lebih fokus. Diataranya sebagai berikut:
1.      Apa itu franchising?
2.      Adakah undang-undang yang mengatur tentang franchising? 
3.      Bagaimanakah Konsep Bisnis Waralaba (Franchise) Ditinjau Dari Prespektif Hukum Islam? 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Franchising
Franchising (pewaralabaan)pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara cepat. Dengan demikian, franchising bukanlah sebuah alternatif melainkan salah satu cara yang sama kuatnya, sama strategsinya dengan carakonvensional dalam mengembangkan usaha. Bahklan sistem franchise dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, SDM dan managemen, keculai kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan pihak lain. Franchising juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif untuk mendekatkan produk kepada konsumennya melaluitangan-tangan franchisee.
Di Indonesia franchise dikenal sejak era 70an ketika masuknya Shakey Pisa, KFC,Swensen dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai sekitar 1995. DataDeperindag pada 1997 mencatat sekitar 259 perusahaan penerima waralaba di Indonesia.Setelah itu, usaha franchise mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Halitu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabili ditandai dengan perseteruan para elit politik.
Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air mengalami perkembanganyang sangat pesat. Bidang-bidang usaha franchise kini meliputi jasa pendidikan, agen perjalanan, bengkel mobil, warung kopi, mini market, studio photo, stationary, furniture,restoran, binatu, dll.Franchise pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine Company, produsen mesin jahit Singer pada 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh perusahaan otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan kendaraan bermotor dengan menunjuk distributor franchise pada tahun 1898. Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan-perusahaan soft drink di Amerika sebagai saluran distribusi di AS dan negara-negara lain. Sedangkan diInggris waralaba dirintis oleh J Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada dekade60an.

B.     Pengertian Franchising
Masing-masing negara memiliki definisi sendiri tentang waralaba. Amerika melaluiInternational Franchise Association (IFA) mendefinisikan franchise sebagai hubungankontraktual antara franchisor dengan franchise, dimana franchisor berkewajiban menjagakepentingan secara kontinyu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee misalnyalewat pelatihan, di bawah merek dagang yang sama, format dan standar operasional ataukontrol pemilik (franchisor), dimana franchisee menamankan investasi pada usaha tersebutdari sumber dananya sendiri.Sedangkan menurut British Franchise Association sebagai garansi lisensi kontraktual oleh satu orang (franchisor) ke pihak lain (franchisee) dengan:
·         Mengijinkan atau meminta franchisee menjalankan usaha dalam periode tertentu pada bisnis yang menggunakan merek yang dimiliki oleh franchisor.
·         Mengharuskan franchisor untuk melatih kontrol secara kontinyu selama periode perjanjian.
·         Mengharuskan franchisor untuk menyediakan asistensi terhadap franchisee padasubjek bisnis yang dijalankan di dalam hubungan terhadap organisasi usaha franchiseeseperti training terhadap staf, merchandising, manajemen atau yang lainnya.
·         Meminta kepada franchise secara periodik selama masa kerjasama waralaba untuk membayarkan sejumlah fee franchisee atau royalti untuk produk atau service yangdisediakan oleh franchisor kepada franchisee.
Sejumlah pakar juga ikut memberikan definisi terhadap waralaba. Campbell Black dalam bukunya Blacks Law Dict menjelaskan franchise sebagai sebuah lisensi merek dari pemilik yang mengijinkan orang lain untuk menjual produk atau service atas nama merek tersebut.
David J. Kaufmann memberi definisi franchising sebagai sebuah sistem pemasaran dandistribusi yang dijalankan oleh institusi bisnis kecil (franchisee) yang digaransi denganmembayar sejumlah fee, hak terhadap akses pasar oleh franchisor dengan standar operasi yangmapan dibawah asistensi franchisor.
Sedangkan menurut Reitzel, Lyden, Roberts & Severance, franchise definisikansebagai sebuah kontrak atas barang yang intangible yang dimiliki oleh seseorang (franchisor)seperti merek yang diberikan kepada orang lain (franchisee) untuk menggunakan barang(merek) tersebut pada usahanya sesuai dengan teritori yang disepakati.
Selain definisi menurut kacamata asing, di Indonesia juga berkembang definisi franchise. Salah satunya seperti yang diberikan oleh LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen), yang mengadopsi dari terjemahan kata franchise. IPPM mengartikannya sebagai usaha yang memberikan laba atau keuntungan sangat istimewa sesuaidengan kata tersebut yang berasal dari wara yang berarti istimewa dan laba yang berartikeuntungan.Sementara itu, menurut PP No.16/1997 waralaba diartikan sebagai perikatan dimanasalah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaanintelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan danatau penjualan barang dan atau jasa. Definisi inilah yang berlaku baku secara yuridis formal diIndonesia.Selain pengertian waralaba, perlu dijelaskan pula apa yang dimaksud denganfranchisor dan franchisee.
Franchisor atau pemberi waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yangmemberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
Franchisee atau penerima waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yangdiberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.Waralaba dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
·         Waralaba luar negeri, cenderung lebih disukai karena sistemnya lebih jelas, merek sudah diterima diberbagai dunia, dan dirasakan lebih bergengsi.
·         Waralaba dalam negeri, juga menjadi salah satu pilihan investasi untuk orang-orangyang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak memiliki pengetahuan cukup pirantiawal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan oleh pemilik waralaba.Biaya waralaba meliputi:
v  Ongkos awal, dimulai dari Rp. 10 juta hingga Rp. 1 miliar. Biaya ini meliputi pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemilik waralaba untuk membuat tempat usahasesuai dengan spesifikasi franchisor dan ongkos penggunaan HAKI.
v  Ongkos royalti, dibayarkan pemegang waralaba setiap bulan dari laba operasional.Besarnya ongkos royalti berkisar dari 5-15 persen dari penghasilan kotor. Ongkosroyalti yang layak adalah 10 persen. Lebih dari 10 persen biasanya adalah biaya yangdikeluarkan untuk pemasaran yang perlu dipertanggung jawabkan.
C.undang-undang yang mengatur tentang franchising
                               Karenanya, kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastianhukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No.16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukumdalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut:
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
1.      259/MPP/KEP/7/1997Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran UsahaWaralaba.
2.      Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
3.      31/M-DAG/PER/8/2008tentang Penyelenggaraan Waralaba
4.      Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
5.      Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
6.      Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payunghukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia,khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat.
Hal ini ini dimungkinkan karena para pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee) diwajibkanmengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya dengan cara mencariatau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem piramida atausistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi. Ada beberapaasosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha WaralabaIndonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FTConsulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran Waralaba.
Ø  Unsur-unsur Waralaba
1.      Harus mempunyai merek (nama termasuk derivatifnya) : Logo, moto atau perusahaan.
2.      Harus mempunyai system bisnis yang bisa digandakan.
3.      Ada biaya atau fee yang dibayarkan.
4.      Adanya pelatihan awal

Ø  Tipe-tipe Waralaba
Secara umum, system pewaralabaan (franchising) dibedakan menjadi empat kategori besar, yaitu :
a.              Product franchising (trade-name franchising)
b.             Manufacturing franchising (product – distribution franchising)
c.              Business – format franchising (pure/comprehensive franchising)
d.             Franchising pribadi




C.     Analisis Hukum Muamalat Terhadap Bisnis Waralaba di Indonesia
·         Analisis dari Aspek Syirkah (Kemitraan Bisnis)
Aspek hukum yang perlu dianalisa dari bisnis waralaba adalah tentang kemitraan bisnis. Kemitraan bisnis dalam hukum Islam disebut dengan syirkah atau musyarakah, dalam hukum positip dikenal dengan perserikatan dagang.
Definisi waralaba menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2006 Pasal 1 angka (1) adalah : “Perikatan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba di mana penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi Waralaba kepada penerima Waralaba.
Berdasarkan definisi tersebut, maka ada dua segi yang perlu dianalisa dalam bisnis waralaba adalah :
·         isi kontrak waralaba yang berupa suatu prestasi, yaitu:
a)      Pemberian lisensi atau izin dari pihak pemberi waralaba kepada pihak penerima waralaba untuk menjalankan usaha bisnisnya dengan menfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha milik pemberi waralaba sebagai imbalannya, pihak penerima waralaba membayar sejumlah uang barupa franchise fee.
b)      Pemberian dukungan konsultasi operasional berkesinambungan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba, sebagai imbalannya, penerima waralaba membayar royalty kepada pemberi waralaba. Isi kontrak waralaba ini mengandung dua unsur, yaitu unsur pembelian manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual dan unsur bagi hasil yaitu adanya sistem royalty sebagai imbalan jasa atas dukungan operasional dari pihak pemberi waralaba.
·         Obyek kontrak yang berupa Hak Kekayaan Intelektual yang menyangkut masalah hak cipta dalam sistem waralaba meliputi merek dagang atau jasa, logo, sistem operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri khas usaha pemberi waralaba Isi kontrak waralaba yang berupa suatu prestasi merupakan subtansi kontrak waralaba, bila dicermati terdapat dua subtansi akad dalam hukum Islam:
a)      subtansi akad yang mengarah atau mendekati akad syirkah yaitu terbentuknya kerja sama dalam usaha bisnis dengan berbagi keuntungan.
b)      subtansi akad yang mendekati dengan akad ijarah, yaitu perpindahan kepemilikan manfaat Hak Kekayaan Intelektual dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba dengan suatu imbalan dalam batas waktu tertentu.
Obyek kontrak yang berupa Hak Kekayaan Intelektual, kalau dilihat dari sudut hukum Islam menyangkut masalah hak cipta dalam sistem waralaba yang meliputi merek dagang atau jasa, logo, sistem operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri khas usaha pemberi waralaba. Hak cipta merupakan hal yang baru dalam kajian fiqh (hukum Islam). Persoalan yang muncul terkait dengan hak cipta dalam hukum Islam menyangkut status kepemilikan bagi pemiliknya dan hukum yang melingkupinya dalam pandangan fiqh muamalat.
Berdasarkan sumber data yang telah diuraikan di Bab III (tiga), dapatlah dirumuskan hal-hal sebagai berikut : Pertama, perjanjian dalam bisnis waralaba harus dalam bentuk tertulis dan didaftarkan kepada Menteri Perdagangan.(Pasal 4, Pasal 11 ayat [1], Pasal 12 ayat [3] PP No. 42 Tahun 2007). Ketentuan ini lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kedua pelaku bisnis waralaba. Kedua, dalam bisnis waralaba, masing-masing pihak baik pihak pemberi waralaba maupun pihak penerima waralaba dipandang sebagai orang yang cakap berbisnis. Ketiga, dalam bisnis waralaba pembagian keuntungan yang disebut dengan royalty tidak dalam jumlah nominal melainkan prosentasi dari laba usaha bisnis. Ketiga unsur tersebut, bila dihubungkan dengan teori kemitraan bisnis dalam hukum Islam ada kesesuaian dengan syarat umum syirkah.
Mencermati sistem operasional (kerja) bisnis waralaba sebagaimana yang diatur oleh hukum positip baik dalam PP No.42 tahun 2007 maupun Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2006, maka dalam bisnis waralaba, masing-masing pihak baik pihak pemberi maupun penerima waralaba tidaklah sama dalam hal perolehan hak maupun dalam hal beban kewajiban masing-masing.Artinya, baik modal, kerja, tanggung jawab, berbagi laba dan resiko bagi masing-masing mitra bisnis tidak sama. Rumusan tersebut,dilihat dari teori kemitraan bisnis dalam hukum Islam dapat digolongkan sebagai jenis syirkah ‘inan, karena sesuai dengan syarat khusus syirkah ‘inan, dengan catatan pemaknaan modal dalam syirkah mengacu pada pendapat Maliki yang menyatakan bahwa modal tidak harus berwujud uang, tetapi boleh juga berupa barang komoditas, asset perniagaan, jasa dan lain-lain asalkan dapat ditentukan dengan kadar nilai (ekonomi).
Akibat pemaknaan modal dalam syirkah menurut imam Maliki dan pemaknaan harta menurut jumhur ulama fiqh selain Hanafi yang telah dikemukakan pada bab dua, sistem operasional bisnis waralaba, di samping sebagai aplikasi syirkah ‘inan, juga dilihat dari sisi lain terdapat praktek syirkah a’mal ( syirkah ‘abdan). Syirkah yang modalnya bukan harta tetapi tenaga atau pekerjaan maupun keahlian atau profesi. Subtansi akad syirkah ‘abdan terletak pada kerjasama seprofesi dua orang atau lebih untuk menerima order bisnis dengan berbagi keuntungan sesuai kesepakatan.. Subtansi syirkah ini, bila dikaitkan atau dihubungkan dengan bisnis waralaba terdapat kesamaan dari satu sisi dan ada perbedaan dari sisi lain. Persamaannya terletak pada modal yeng berupa tenaga atau keahlian dalam bisnis waralaba baik dari pihak pemberi maupun pihak penerima waralaba. Pihak pemberi waralaba, di samping modal yang berupa manfaat dari Hak Kekayaan Intlektual yang dimilikinya, juga bermodal tenaga ahli bidang bisnis yang berperan untuk melaksanakan pemberian pelatihan bimbingan, penelitian dan pengembangan termasuk melakukan pengendalian mutu serta evaluasi bisnis. Pihak penerima waralaba selain modal uang, juga tenaga, keahlian atau profesi bisnis yang memegang peran penting menjalankan usaha dengan menggunakan sistem dan methode bisnis dari pihak pemberi waralaba. Keuntungan dari usaha waralaba ini dibagi menurut proporsi kualitas dan kuantitas kerja yang dibebankan.
Perpaduan (kerja sama) tenaga dan keahlian bisnis dari dua pihak pelaku bisnis waralaba dapat dipandang sebagai syirkah ‘abdan (a’mal). Sementara dari sisi lain, syirkah ‘abdan menurut teori syirkah hukum Islam, proyek bisnis atau order bisnis yang menjadi obyek usaha syirkah adalah atas job atau pesanan dari pihak ketiga. Misalnya, kerjasama orang yang berprofesi tukang jahit untuk menerima pekerjaan dari Depdiknas untuk membuat seragam baju sekolah. Order pekerjaan pembuatan baju seragam sekolah bukan atas inisiatif atau diciptakan sendiri oleh pelaku syirkah melainkan datang dari pihak ketiga, dalam hal ini pihak Depdiknas. Berbeda halnya, dengan bisnis waralaba, di mana proyek bisnis yang menjadi usaha itu diciptakan sendiri oleh dua mitra bisnis waralaba bukan atas pesanan dari pihak luar atau pihak ketiga. Dalam syirkah ‘abdan, terjadi dan tidaknya syirkah tersebut sangat tergantung dari ada dan tidaknya pesanan dari pihak ketiga. Berbeda dengan pola bisnis waralaba, terjadi dan tidaknya bisnis waralaba tidak tergantung dari pihak ketiga melainkan ditentukan atau diciptakan oleh sesama mitra bisnis waralaba (pemberi dan penerima waralaba).

·         Analisis dari Aspek Ijarah (Sewa Menyewa)
Salah satu subtansi kontrak bisnis waralaba adalah pemberian lisensi (izin) oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha milik pemberi waralaba didalam menjalankan usaha bisnisnya dengan imbalan sejumlah fee (franchise fee) yang harus dibayar oleh penerima kepada pemberi waralaba dalam batasan waktu tertentu. Subtansi kontrak bisnis waralaba tersebut tidak jauh berbeda dengan subtansi akad ijarah dalam hukum Islam yaitu sama-sama memindahkan kepemilikan manfaat atas benda ataupun jasa dengan imbalan sejumlah uang dalam batas waktu tertentu.
Dasar Analisa tersebut , apabila manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual dapat dipandang sebagai harta sehubungan pendapat jumhur ulama fiqh selain Hanafi yang menyatakan bahwa bahwa yang dinamakan harta tidak harus bersifat benda atau materi, tetapi bisa juga manfaat atau hak dapat dipandang sebagai harta.
Isi kontrak bisnis waralaba yang menyangkut pemberian lisensi atau izin dari pemberi kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan hak kekayaan intelektual di dalam menjalankan usaha bisnisnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut ; Pertama, Kontrak waralaba berupa perjanjian tertulis. Kedua, Hak Kekayaan Intelektual yang digunakan penerima waralaba dalam menjalankan usaha bisnisnya tidak lain adalah untuk mengambil manfaatnya, yaitu meningkatkan daya beli atau volume penjualan barang atau jasa.Ketiga, dalam bisnis waralaba, franchisee fee ditentukan nominal rupiah untuk jangka waktu tertentu. Keempat, dalam bisnis waralaba, penggunaan manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual oleh penerima waralaba. Kelima, jika jangka waktu kontrak waralaba berakhir, pihak penerima waralaba mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang berkenaan Hak Kekayaan Intlektual, penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem manajemen, cara penjualan dan sebagainya yang menjadi obyek waralaba kepada pemberi waralaba. Kelima unsur ini sesuai dengan syarat-syarat sah akad ijarah.























BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
·         Masing-masing negara memiliki definisi sendiri tentang waralaba. Amerika melaluiInternational Franchise Association (IFA) mendefinisikan franchise sebagai hubungankontraktual antara franchisor dengan franchise, dimana franchisor berkewajiban menjagakepentingan secara kontinyu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee misalnyalewat pelatihan, di bawah merek dagang yang sama, format dan standar operasional ataukontrol pemilik (franchisor), dimana franchisee menamankan investasi pada usaha tersebutdari sumber dananya sendiri.
·         undang-undang yang mengatur tentang franchising
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.259/MPP/KEP/7/1997Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran UsahaWaralaba.
1.      Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
2.      31/M-DAG/PER/8/2008tentang Penyelenggaraan Waralaba
3.      Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
4.      Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
5.      Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

·         Konsep Bisnis Waralaba (Franchise) Ditinjau Dari Prespektif Hukum Islam? 
Analisis dari Aspek Syirkah (Kemitraan Bisnis)
Aspek hukum yang perlu dianalisa dari bisnis waralaba adalah tentang kemitraan bisnis. Kemitraan bisnis dalam hukum Islam disebut dengan syirkah atau musyarakah, dalam hukum positip dikenal dengan perserikatan dagang.

Analisis dari Aspek Ijarah (Sewa Menyewa)
Salah satu subtansi kontrak bisnis waralaba adalah pemberian lisensi (izin) oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha milik pemberi waralaba didalam menjalankan usaha bisnisnya dengan imbalan sejumlah fee (franchise fee) yang harus dibayar oleh penerima kepada pemberi waralaba dalam batasan waktu tertentu. Subtansi kontrak bisnis waralaba tersebut tidak jauh berbeda dengan subtansi akad ijarah dalam hukum Islam yaitu sama-sama memindahkan kepemilikan manfaat atas benda ataupun jasa dengan imbalan sejumlah uang dalam batas waktu tertentu.








DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar