Kamis, 10 Mei 2012

Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

PEMBAHASAN
A.    Biografi Abu Ubaid
            Nama lengkap Abu Ubaid adalah al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada 150 H di Harrah, Khurasan, di propinsi Khurasan  yakni Barat Laut Afghanistan dari ayah keturunan Byzantium dari suku Azad.
Beliau belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20 an pergi berkelana ke Kufah. Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qira'ah, tafsir, hadis dan fikih dimana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran. Setelah kembali ke Khurasan, la mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik yakni gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur,  menunjuknya sebagai qadi atau hakim di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H,setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya Beliau meninggal pada tahun  224 H[1].
Karya Abu Ubaid yang fenomenal adalah Kitab Al Amwal, yang dianggap lebih kaya dibanding Kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf, Kitab al-Amwal fokus pada masalah Keuangan Publik (Public Finance) meskipun mayoritas membahas permasalahan administrasi pemerintahan. Pada masa Abu Ubaid pertanian adalah sektor terbaik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar dan sumber utama pendapatan negara[2].


B.     Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid.
1.      Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku al amwal Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, tujuan dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara, jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah. Khalifah diberikan kebebasan memilih diantara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Abu Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan umum.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian[3].
la membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Namun, betapapun hasil ijtihad tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.

2.      Dikotomi Badui (masyarakat desa) ke masyarakat kota.
Pembahasan mengenai dikotomi badui ke masyarakat kota dilakukan Abu Ubaid, menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan. Demikianlah adalah apa –apa yang dilakukan oleh kaum urban:
Ø  Ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim.
Ø  memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka.
Ø  menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan sunnah dengan penyebaran) keunggulan kualitas isinya.
Ø  melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties).
Ø  memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum'at dan Id.

Singkatnya disamping keadilan Abu Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan. Namun hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abu Ubaid memperluas pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan tersebut, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan[4].
Dari semua ini Abu Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan hubunngan sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur yang mendasar dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kebudayaan perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan berpindah-pindah. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.

3.      Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian.
Abu Ubaid rnengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai pendorong untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai pendorong untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam tanah pribadi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada tanam pribadi. Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat[5].

4.       Pertimbangan Kebutuhan.
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat kurang setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan  ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnyaatau  pengelola atas kebijakan Imam.

5.      Fungsi Uang.
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas dan perak, ia secara terkandung didalamnya mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
Abu Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri khusus dari Kitab al Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha khalifah Abdul Malik bin Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam sirkulasi[6].
Kondisi pemerintahan Dinasti Abbasiyah telah memberikan warna dalam pemikiran Abu Ubaid. Dalam hubungan antara penguasa dengan rakyat Abu Ubaid lebih menempatkan pada otoritas dan kebijakan penguasa. Ia rupanya begitu percaya dan yakin terhadap khalifah akan membuat keputusan yang adil dan senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini sangat wajar karena para khalifah pada masanya secara integritas dan kapabilitas dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara. jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abu Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public .finance) secara adil[7].
Metode Abu Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari'ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur'an dan hadis dan tradisi masa awal Islam itu dapat diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.
Abu Ubaid hidup pada suasana Baghdad yang menganggap dunia atau negara sebagai tanah airnya dan heterogen dimana persoalan masyarakat juga lebih kompleks dibandingkan wilayah lainnya. Suasana yang kondusif dan tradisi ilmiah membuat para ulama yang hidup di wilayah itu cenderung menggunakan Ra'yu, hal ini terlihat misalnya pada pemikiran Imam Abu Hanifah. Berbeda dengan lmam Malik yang hidup di Wilayah Hijaz, penduduk di wilayah ini dekat dengan pusat kekuasaan Nabi dan Khulafa Rasyidin dimana penyebaran hadis lebih banyak dan lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Bagi Abu Ubaid, meskipun cukup lama tinggal di Baghdad tetapi ia sangat handal dan menguasai hadis. Karenanya dalam pemikirannya senantiasa mengikuti sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio, meski sangat hati-hati. Abu Ubaid berpendapat bahwa aturan umum dari sumah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnnya atau dengan ayat al-Qur'an. Sumber ketiga yang digunakan Abu Ubaid adalah ijma al-Ummah (kesepakatan). Tampak bahwa Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi dimana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur"an dan sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan dengan yang lain.
Abu Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur'an dan hadis. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-Ummah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad.
Pemikiran Abu Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya "The Wealth of Nation" sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal ini, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini[8].

C.    Sekilas Mengenai Kitab Al-Amwal
Kitab al-Amwal dibagi dalam beberapa bagian dan bab, dimulai dengan bab pendahuluan singkat dari kesepakatan para imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan referensi khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abu Ubaid mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam melaksanakan kebijakan ekonomi. Beliau juga mengatakan bahwa pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada Allah dan jujur.
Dilanjutkan dengan bab tambahan yang berjudul jenis penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitab dan Sunnah. Tampak bahwa Kitab al- Amwal secara khusus memusatkan perhatian pada keuangan publik (Public Finance), akan tetapi dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada di dalamnya membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum serta hukum administrasi dan hukum internasional. Hal tersebut membuat Kitab ini menjadi sumber pengembangan yang sangat diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua awal abad Islam.
Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut, di dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi SAW, kesepakatan pada sahabat, tabi'in serta at-tabit tabi’in ditampilkan bersama dengan pendapat Al- Fiqih. Abu Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta melakukan tela'ah mendalam terhadap mata rantai penyampaiannya. Abu Ubaid telah melakukan verifikasi atas hadis-hadis tersebut serta melakukan kritik terhadap mata rantainya jika dipandang perlu. Terkadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasi pribadinya. Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang kurang jelas tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan menuliskan atsar yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia mengklasifikasikan atsar beserta kesimpulannya. Walaupun begitu ada beberapa bab yang hanya terdiri dari kumpulan hadis-hadis tanpa disertai komentar atau pembahasan apapun.
Ibrahim al Harbi (murid dari Abu Ubaid) mengatakan bahwa salah satu titik kelemahan dari kitab al-Amwal adalah terletak pada sedikitnya jumlah hadis yang diulas. Namun begitu, tidak adil apabila hanya melihatnya dari sisi itu karena keunggulan Abu Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik terhadap hadis sehingga ia mampu memilih hadis-hadis yang relevan, bahkan beberapa kali Abu Ubaid menyebutkan lebih banyak hadisnya dari pada pembahasannya.
Walaupun Abu Ubaid adalah orang yang sangat mengikuti sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra'yu). Dalam setiap isu ia selalu mengacu pada atsar (hadis) serta pendapat ulama lainnya mengenai hadis yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya dari sisi kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat yang ada ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti. Kadangkala ia membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya ataupun dari salah satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak. Abu Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam mendeduksi hukum-hukum dari nash (al-Qur'an dan Hadis), serta menghasilkan suatu peraturan atau kaidah keuangan (financial maxims) yang sistematik, terutama mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum.
Referensi utama Abu Ubaid, sebagaimana ulama muslim lainnya, adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi, baginya otoritas al-Qur'an adalah di atas al-hadits. Walaupun sebenarnya al-hadis adalah penjelasan dari al-Qur'an. Penjelasan dari para sahabat, tabi'in dan at-ta'bi at-tabi'in dipandangnya sederajat lebih rendah dibanding hadis. Namun, ia akan mengesampingkannya apabila dipandang bertentangan dengan hadis, secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak sebanding jika dihadapkan dengan tradisi Nabi. Dalam kondisi yang terdapat hukum atau keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang atau sama, apa yang terakhir dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW, itu yang lebih diutamakan. Tingkat pemahaman Abu Ubaid terhadap keduanya (al-Qur'an dan Hadis) membuatnya mampu untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al-Nasikh wa al-Mansukh , fi al-qur'an al-aziz wumafihi min al-Qur’an was as sunan, gharib al-Qur'an, ma 'ani al-Qur'an, gharib al-Hadits, yang merupakan penjelasan (tafsir) dan interpretasi (ta'wil) dari al-Qur'an dan al-Hadits.
Abu Ubaid mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra'yu. Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari al-Qur'an. Sumber ketiga yang digunakan Abu Ubaid adalah `ijma al-Rimmah (kesepakatan).Tampak bahwa Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi, di mana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur'an dan sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.
Abu Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur'an dan hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi mayashid asy-syari'ah dalam melakukan ketetapan hukum-hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (Ul-muslahah al-'ammah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad.Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abu Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta 'amul (hukum adat atau tradisi).demikianlah sekilas tentang buku karangan Abu Ubaid yakni kitab Al-Amwal[9].









DAFTAR PUSTAKA

                 Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia, 2003.
                 Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
                 Mudzar, Atho. Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam. Artikel pada Mimbar Hukum. Jakarta: Departemen Agama, 1992.
                 http://sharianomics.wordpress.com/2011/03/09/kultwit-pemikir-ekonomi-islam-abu-ubaid-150-224-h-2/.
                 http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/11/abu-ubaid-dabn-pemikiran-ekonominya.html.



[1]               HM. Atho Mudzar, Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar Hukum, (Jakarta: Departemen Agama, 1992).
[2]               http://sharianomics.wordpress.com/2011/03/09/kultwit-pemikir-ekonomi-islam-abu-ubaid-150-224-h-2/

[3]               H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) 251-252.
[4]               H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. 253-254.
[5]               H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. 255-256.
[6]              http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/11/abu-ubaid-dabn-pemikiran-ekonominya.html

[7]               H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. 258-259.
[8]              http://kajianislamnugraha.blogspot.com/2009/11/abu-ubaid-dabn-pemikiran-ekonominya.html

[9]               M.B Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), 74.

Rabu, 09 Mei 2012

bermu'amalah \-franchising


BAB I
PENDAHULUANA.

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam dunia bisnis kita ketahui banyak cara untuk membuat sebuah perusahaan yang bisa menghasilkan laba dari kegiatan usaha bisnis tersebut. Hal itu sangat penting bagi para pebisnis yang ingin memulai usahanya, baik usaha memproduksi barang ataupun jasa.Minimalnya ada 3 cara untuk membuat atau memiliki sebuah perusahaan, yaitu membeli perusahaan yang sudah dibangun, memulai perusahaan baru, dan membeli hal lisensi(franchising/waralaba).
Dari ketiga cara tersebut kami mengambil 1 untuk bahan pembahasanmasalah ini yaitu tentang membangun perusahaan dengan membeli hak lisensi(franchising/waralaba) perusahaan yang sudah berdiri atau go public.Membeli hak lisensi (franchising/waralaba) perusahaan yg sudah go public, kita tidak  perlu melakukan semacam promosi barang atau jasa yang dijual oleh perusahaan tersebut. Kita hanya melakukan kegiatan penjualan yang sudah dikonsepkan oleh perusahaan dan tidak diperkenankan merubah bentuk dari produk tersebut kecuali berinovasi menciptakan produk untuk perusahaan yang kita beli lisensinya. Cara ini sangat mudah untuk mendapatkannya serta menjalankan usaha yang kita jalani.
Franchising juga sangat mendukung perekonomian bangsa karena membantu mensejahterakan para pengusaha-pengusaha baru untuk membangun sebuah perusahaan yangsudah ada dan menjadikan para calon pekerja mendapatkan lapangan pekerjaan, hingga dapatmengurangi angka pengangguran yang semakin meningkat. Hal tersebut bisa membuat pertumbuhan ekonimi Indonesia menjadi semakin baik dan maju, juga untuk bersaingmenghadapi perekonomian bebas dimasa yang akan mendatang.Franchise juga memiliki keuntungan dan kerugian yang kita juga dapat ketahui agar  bisa mengatasi masalah-masalah yang akan kita hadapi saat menjalankan usaha tersebut.
Menggunakan fungsi-fungsi manajemen yang baik dan teratur sehingga masalah-masalahyang kita hadapi bisa dapat diselesaikan dengan baik dan berjalan sesuai rencana.Bertitik tolak dari uraian di atas penulis akan mencoba sejauh mungkin dapatmenganalisis dan mengungkapkan tentang ”PENGARUH FRANCHISING ATAUWARALABA DITINJAU DARI PRESPEKTIF HUKUM ISLAM”


B.     PERUMUSAN MASALAH
Dari masalah-masalah tersebut kita tidak dapat menjelaskan semuanya, karenaketerbatasan waktu penulis hanya membatasi masalah-masalah penting yang akan kita bahasdan agar lebih fokus. Diataranya sebagai berikut:
1.      Apa itu franchising?
2.      Adakah undang-undang yang mengatur tentang franchising? 
3.      Bagaimanakah Konsep Bisnis Waralaba (Franchise) Ditinjau Dari Prespektif Hukum Islam? 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Franchising
Franchising (pewaralabaan)pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara cepat. Dengan demikian, franchising bukanlah sebuah alternatif melainkan salah satu cara yang sama kuatnya, sama strategsinya dengan carakonvensional dalam mengembangkan usaha. Bahklan sistem franchise dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, SDM dan managemen, keculai kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan pihak lain. Franchising juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif untuk mendekatkan produk kepada konsumennya melaluitangan-tangan franchisee.
Di Indonesia franchise dikenal sejak era 70an ketika masuknya Shakey Pisa, KFC,Swensen dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai sekitar 1995. DataDeperindag pada 1997 mencatat sekitar 259 perusahaan penerima waralaba di Indonesia.Setelah itu, usaha franchise mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Halitu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabili ditandai dengan perseteruan para elit politik.
Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air mengalami perkembanganyang sangat pesat. Bidang-bidang usaha franchise kini meliputi jasa pendidikan, agen perjalanan, bengkel mobil, warung kopi, mini market, studio photo, stationary, furniture,restoran, binatu, dll.Franchise pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine Company, produsen mesin jahit Singer pada 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh perusahaan otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan kendaraan bermotor dengan menunjuk distributor franchise pada tahun 1898. Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan-perusahaan soft drink di Amerika sebagai saluran distribusi di AS dan negara-negara lain. Sedangkan diInggris waralaba dirintis oleh J Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada dekade60an.

B.     Pengertian Franchising
Masing-masing negara memiliki definisi sendiri tentang waralaba. Amerika melaluiInternational Franchise Association (IFA) mendefinisikan franchise sebagai hubungankontraktual antara franchisor dengan franchise, dimana franchisor berkewajiban menjagakepentingan secara kontinyu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee misalnyalewat pelatihan, di bawah merek dagang yang sama, format dan standar operasional ataukontrol pemilik (franchisor), dimana franchisee menamankan investasi pada usaha tersebutdari sumber dananya sendiri.Sedangkan menurut British Franchise Association sebagai garansi lisensi kontraktual oleh satu orang (franchisor) ke pihak lain (franchisee) dengan:
·         Mengijinkan atau meminta franchisee menjalankan usaha dalam periode tertentu pada bisnis yang menggunakan merek yang dimiliki oleh franchisor.
·         Mengharuskan franchisor untuk melatih kontrol secara kontinyu selama periode perjanjian.
·         Mengharuskan franchisor untuk menyediakan asistensi terhadap franchisee padasubjek bisnis yang dijalankan di dalam hubungan terhadap organisasi usaha franchiseeseperti training terhadap staf, merchandising, manajemen atau yang lainnya.
·         Meminta kepada franchise secara periodik selama masa kerjasama waralaba untuk membayarkan sejumlah fee franchisee atau royalti untuk produk atau service yangdisediakan oleh franchisor kepada franchisee.
Sejumlah pakar juga ikut memberikan definisi terhadap waralaba. Campbell Black dalam bukunya Blacks Law Dict menjelaskan franchise sebagai sebuah lisensi merek dari pemilik yang mengijinkan orang lain untuk menjual produk atau service atas nama merek tersebut.
David J. Kaufmann memberi definisi franchising sebagai sebuah sistem pemasaran dandistribusi yang dijalankan oleh institusi bisnis kecil (franchisee) yang digaransi denganmembayar sejumlah fee, hak terhadap akses pasar oleh franchisor dengan standar operasi yangmapan dibawah asistensi franchisor.
Sedangkan menurut Reitzel, Lyden, Roberts & Severance, franchise definisikansebagai sebuah kontrak atas barang yang intangible yang dimiliki oleh seseorang (franchisor)seperti merek yang diberikan kepada orang lain (franchisee) untuk menggunakan barang(merek) tersebut pada usahanya sesuai dengan teritori yang disepakati.
Selain definisi menurut kacamata asing, di Indonesia juga berkembang definisi franchise. Salah satunya seperti yang diberikan oleh LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen), yang mengadopsi dari terjemahan kata franchise. IPPM mengartikannya sebagai usaha yang memberikan laba atau keuntungan sangat istimewa sesuaidengan kata tersebut yang berasal dari wara yang berarti istimewa dan laba yang berartikeuntungan.Sementara itu, menurut PP No.16/1997 waralaba diartikan sebagai perikatan dimanasalah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaanintelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan danatau penjualan barang dan atau jasa. Definisi inilah yang berlaku baku secara yuridis formal diIndonesia.Selain pengertian waralaba, perlu dijelaskan pula apa yang dimaksud denganfranchisor dan franchisee.
Franchisor atau pemberi waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yangmemberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
Franchisee atau penerima waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yangdiberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.Waralaba dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
·         Waralaba luar negeri, cenderung lebih disukai karena sistemnya lebih jelas, merek sudah diterima diberbagai dunia, dan dirasakan lebih bergengsi.
·         Waralaba dalam negeri, juga menjadi salah satu pilihan investasi untuk orang-orangyang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak memiliki pengetahuan cukup pirantiawal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan oleh pemilik waralaba.Biaya waralaba meliputi:
v  Ongkos awal, dimulai dari Rp. 10 juta hingga Rp. 1 miliar. Biaya ini meliputi pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemilik waralaba untuk membuat tempat usahasesuai dengan spesifikasi franchisor dan ongkos penggunaan HAKI.
v  Ongkos royalti, dibayarkan pemegang waralaba setiap bulan dari laba operasional.Besarnya ongkos royalti berkisar dari 5-15 persen dari penghasilan kotor. Ongkosroyalti yang layak adalah 10 persen. Lebih dari 10 persen biasanya adalah biaya yangdikeluarkan untuk pemasaran yang perlu dipertanggung jawabkan.
C.undang-undang yang mengatur tentang franchising
                               Karenanya, kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastianhukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No.16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukumdalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut:
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
1.      259/MPP/KEP/7/1997Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran UsahaWaralaba.
2.      Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
3.      31/M-DAG/PER/8/2008tentang Penyelenggaraan Waralaba
4.      Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
5.      Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
6.      Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payunghukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia,khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat.
Hal ini ini dimungkinkan karena para pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee) diwajibkanmengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya dengan cara mencariatau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem piramida atausistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi. Ada beberapaasosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha WaralabaIndonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FTConsulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran Waralaba.
Ø  Unsur-unsur Waralaba
1.      Harus mempunyai merek (nama termasuk derivatifnya) : Logo, moto atau perusahaan.
2.      Harus mempunyai system bisnis yang bisa digandakan.
3.      Ada biaya atau fee yang dibayarkan.
4.      Adanya pelatihan awal

Ø  Tipe-tipe Waralaba
Secara umum, system pewaralabaan (franchising) dibedakan menjadi empat kategori besar, yaitu :
a.              Product franchising (trade-name franchising)
b.             Manufacturing franchising (product – distribution franchising)
c.              Business – format franchising (pure/comprehensive franchising)
d.             Franchising pribadi




C.     Analisis Hukum Muamalat Terhadap Bisnis Waralaba di Indonesia
·         Analisis dari Aspek Syirkah (Kemitraan Bisnis)
Aspek hukum yang perlu dianalisa dari bisnis waralaba adalah tentang kemitraan bisnis. Kemitraan bisnis dalam hukum Islam disebut dengan syirkah atau musyarakah, dalam hukum positip dikenal dengan perserikatan dagang.
Definisi waralaba menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2006 Pasal 1 angka (1) adalah : “Perikatan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba di mana penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi Waralaba kepada penerima Waralaba.
Berdasarkan definisi tersebut, maka ada dua segi yang perlu dianalisa dalam bisnis waralaba adalah :
·         isi kontrak waralaba yang berupa suatu prestasi, yaitu:
a)      Pemberian lisensi atau izin dari pihak pemberi waralaba kepada pihak penerima waralaba untuk menjalankan usaha bisnisnya dengan menfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha milik pemberi waralaba sebagai imbalannya, pihak penerima waralaba membayar sejumlah uang barupa franchise fee.
b)      Pemberian dukungan konsultasi operasional berkesinambungan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba, sebagai imbalannya, penerima waralaba membayar royalty kepada pemberi waralaba. Isi kontrak waralaba ini mengandung dua unsur, yaitu unsur pembelian manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual dan unsur bagi hasil yaitu adanya sistem royalty sebagai imbalan jasa atas dukungan operasional dari pihak pemberi waralaba.
·         Obyek kontrak yang berupa Hak Kekayaan Intelektual yang menyangkut masalah hak cipta dalam sistem waralaba meliputi merek dagang atau jasa, logo, sistem operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri khas usaha pemberi waralaba Isi kontrak waralaba yang berupa suatu prestasi merupakan subtansi kontrak waralaba, bila dicermati terdapat dua subtansi akad dalam hukum Islam:
a)      subtansi akad yang mengarah atau mendekati akad syirkah yaitu terbentuknya kerja sama dalam usaha bisnis dengan berbagi keuntungan.
b)      subtansi akad yang mendekati dengan akad ijarah, yaitu perpindahan kepemilikan manfaat Hak Kekayaan Intelektual dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba dengan suatu imbalan dalam batas waktu tertentu.
Obyek kontrak yang berupa Hak Kekayaan Intelektual, kalau dilihat dari sudut hukum Islam menyangkut masalah hak cipta dalam sistem waralaba yang meliputi merek dagang atau jasa, logo, sistem operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri khas usaha pemberi waralaba. Hak cipta merupakan hal yang baru dalam kajian fiqh (hukum Islam). Persoalan yang muncul terkait dengan hak cipta dalam hukum Islam menyangkut status kepemilikan bagi pemiliknya dan hukum yang melingkupinya dalam pandangan fiqh muamalat.
Berdasarkan sumber data yang telah diuraikan di Bab III (tiga), dapatlah dirumuskan hal-hal sebagai berikut : Pertama, perjanjian dalam bisnis waralaba harus dalam bentuk tertulis dan didaftarkan kepada Menteri Perdagangan.(Pasal 4, Pasal 11 ayat [1], Pasal 12 ayat [3] PP No. 42 Tahun 2007). Ketentuan ini lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kedua pelaku bisnis waralaba. Kedua, dalam bisnis waralaba, masing-masing pihak baik pihak pemberi waralaba maupun pihak penerima waralaba dipandang sebagai orang yang cakap berbisnis. Ketiga, dalam bisnis waralaba pembagian keuntungan yang disebut dengan royalty tidak dalam jumlah nominal melainkan prosentasi dari laba usaha bisnis. Ketiga unsur tersebut, bila dihubungkan dengan teori kemitraan bisnis dalam hukum Islam ada kesesuaian dengan syarat umum syirkah.
Mencermati sistem operasional (kerja) bisnis waralaba sebagaimana yang diatur oleh hukum positip baik dalam PP No.42 tahun 2007 maupun Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2006, maka dalam bisnis waralaba, masing-masing pihak baik pihak pemberi maupun penerima waralaba tidaklah sama dalam hal perolehan hak maupun dalam hal beban kewajiban masing-masing.Artinya, baik modal, kerja, tanggung jawab, berbagi laba dan resiko bagi masing-masing mitra bisnis tidak sama. Rumusan tersebut,dilihat dari teori kemitraan bisnis dalam hukum Islam dapat digolongkan sebagai jenis syirkah ‘inan, karena sesuai dengan syarat khusus syirkah ‘inan, dengan catatan pemaknaan modal dalam syirkah mengacu pada pendapat Maliki yang menyatakan bahwa modal tidak harus berwujud uang, tetapi boleh juga berupa barang komoditas, asset perniagaan, jasa dan lain-lain asalkan dapat ditentukan dengan kadar nilai (ekonomi).
Akibat pemaknaan modal dalam syirkah menurut imam Maliki dan pemaknaan harta menurut jumhur ulama fiqh selain Hanafi yang telah dikemukakan pada bab dua, sistem operasional bisnis waralaba, di samping sebagai aplikasi syirkah ‘inan, juga dilihat dari sisi lain terdapat praktek syirkah a’mal ( syirkah ‘abdan). Syirkah yang modalnya bukan harta tetapi tenaga atau pekerjaan maupun keahlian atau profesi. Subtansi akad syirkah ‘abdan terletak pada kerjasama seprofesi dua orang atau lebih untuk menerima order bisnis dengan berbagi keuntungan sesuai kesepakatan.. Subtansi syirkah ini, bila dikaitkan atau dihubungkan dengan bisnis waralaba terdapat kesamaan dari satu sisi dan ada perbedaan dari sisi lain. Persamaannya terletak pada modal yeng berupa tenaga atau keahlian dalam bisnis waralaba baik dari pihak pemberi maupun pihak penerima waralaba. Pihak pemberi waralaba, di samping modal yang berupa manfaat dari Hak Kekayaan Intlektual yang dimilikinya, juga bermodal tenaga ahli bidang bisnis yang berperan untuk melaksanakan pemberian pelatihan bimbingan, penelitian dan pengembangan termasuk melakukan pengendalian mutu serta evaluasi bisnis. Pihak penerima waralaba selain modal uang, juga tenaga, keahlian atau profesi bisnis yang memegang peran penting menjalankan usaha dengan menggunakan sistem dan methode bisnis dari pihak pemberi waralaba. Keuntungan dari usaha waralaba ini dibagi menurut proporsi kualitas dan kuantitas kerja yang dibebankan.
Perpaduan (kerja sama) tenaga dan keahlian bisnis dari dua pihak pelaku bisnis waralaba dapat dipandang sebagai syirkah ‘abdan (a’mal). Sementara dari sisi lain, syirkah ‘abdan menurut teori syirkah hukum Islam, proyek bisnis atau order bisnis yang menjadi obyek usaha syirkah adalah atas job atau pesanan dari pihak ketiga. Misalnya, kerjasama orang yang berprofesi tukang jahit untuk menerima pekerjaan dari Depdiknas untuk membuat seragam baju sekolah. Order pekerjaan pembuatan baju seragam sekolah bukan atas inisiatif atau diciptakan sendiri oleh pelaku syirkah melainkan datang dari pihak ketiga, dalam hal ini pihak Depdiknas. Berbeda halnya, dengan bisnis waralaba, di mana proyek bisnis yang menjadi usaha itu diciptakan sendiri oleh dua mitra bisnis waralaba bukan atas pesanan dari pihak luar atau pihak ketiga. Dalam syirkah ‘abdan, terjadi dan tidaknya syirkah tersebut sangat tergantung dari ada dan tidaknya pesanan dari pihak ketiga. Berbeda dengan pola bisnis waralaba, terjadi dan tidaknya bisnis waralaba tidak tergantung dari pihak ketiga melainkan ditentukan atau diciptakan oleh sesama mitra bisnis waralaba (pemberi dan penerima waralaba).

·         Analisis dari Aspek Ijarah (Sewa Menyewa)
Salah satu subtansi kontrak bisnis waralaba adalah pemberian lisensi (izin) oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha milik pemberi waralaba didalam menjalankan usaha bisnisnya dengan imbalan sejumlah fee (franchise fee) yang harus dibayar oleh penerima kepada pemberi waralaba dalam batasan waktu tertentu. Subtansi kontrak bisnis waralaba tersebut tidak jauh berbeda dengan subtansi akad ijarah dalam hukum Islam yaitu sama-sama memindahkan kepemilikan manfaat atas benda ataupun jasa dengan imbalan sejumlah uang dalam batas waktu tertentu.
Dasar Analisa tersebut , apabila manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual dapat dipandang sebagai harta sehubungan pendapat jumhur ulama fiqh selain Hanafi yang menyatakan bahwa bahwa yang dinamakan harta tidak harus bersifat benda atau materi, tetapi bisa juga manfaat atau hak dapat dipandang sebagai harta.
Isi kontrak bisnis waralaba yang menyangkut pemberian lisensi atau izin dari pemberi kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan hak kekayaan intelektual di dalam menjalankan usaha bisnisnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut ; Pertama, Kontrak waralaba berupa perjanjian tertulis. Kedua, Hak Kekayaan Intelektual yang digunakan penerima waralaba dalam menjalankan usaha bisnisnya tidak lain adalah untuk mengambil manfaatnya, yaitu meningkatkan daya beli atau volume penjualan barang atau jasa.Ketiga, dalam bisnis waralaba, franchisee fee ditentukan nominal rupiah untuk jangka waktu tertentu. Keempat, dalam bisnis waralaba, penggunaan manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual oleh penerima waralaba. Kelima, jika jangka waktu kontrak waralaba berakhir, pihak penerima waralaba mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang berkenaan Hak Kekayaan Intlektual, penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem manajemen, cara penjualan dan sebagainya yang menjadi obyek waralaba kepada pemberi waralaba. Kelima unsur ini sesuai dengan syarat-syarat sah akad ijarah.























BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
·         Masing-masing negara memiliki definisi sendiri tentang waralaba. Amerika melaluiInternational Franchise Association (IFA) mendefinisikan franchise sebagai hubungankontraktual antara franchisor dengan franchise, dimana franchisor berkewajiban menjagakepentingan secara kontinyu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee misalnyalewat pelatihan, di bawah merek dagang yang sama, format dan standar operasional ataukontrol pemilik (franchisor), dimana franchisee menamankan investasi pada usaha tersebutdari sumber dananya sendiri.
·         undang-undang yang mengatur tentang franchising
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.259/MPP/KEP/7/1997Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran UsahaWaralaba.
1.      Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
2.      31/M-DAG/PER/8/2008tentang Penyelenggaraan Waralaba
3.      Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
4.      Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
5.      Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

·         Konsep Bisnis Waralaba (Franchise) Ditinjau Dari Prespektif Hukum Islam? 
Analisis dari Aspek Syirkah (Kemitraan Bisnis)
Aspek hukum yang perlu dianalisa dari bisnis waralaba adalah tentang kemitraan bisnis. Kemitraan bisnis dalam hukum Islam disebut dengan syirkah atau musyarakah, dalam hukum positip dikenal dengan perserikatan dagang.

Analisis dari Aspek Ijarah (Sewa Menyewa)
Salah satu subtansi kontrak bisnis waralaba adalah pemberian lisensi (izin) oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha milik pemberi waralaba didalam menjalankan usaha bisnisnya dengan imbalan sejumlah fee (franchise fee) yang harus dibayar oleh penerima kepada pemberi waralaba dalam batasan waktu tertentu. Subtansi kontrak bisnis waralaba tersebut tidak jauh berbeda dengan subtansi akad ijarah dalam hukum Islam yaitu sama-sama memindahkan kepemilikan manfaat atas benda ataupun jasa dengan imbalan sejumlah uang dalam batas waktu tertentu.








DAFTAR PUSTAKA